Sabtu, 26 Desember 2009

A Novel Analysis



"Aib" JM Coetzee
----------------

>> Katrin Bandel, Peneliti Sastra Indonesia, Tinggal di Yogyakarta

Aib
Judul asli: Disgrace
Penulis: J. M. Coetzee
Penerjemah: Indah Lestari
Penerbit: Jalasutra, 2005
Tebal: 317 hlm; format: 15 cm x 21 cm
ISBN: 979-3684-33-X
Harga: Rp.35.000,-


David Lurie, tokoh utama novel Aib karya JM Coetzee (1999), adalah seorang antihero. Sebagai dosen
senior dengan keahlian sastra Inggris zaman Romantik, dia seperti sudah hampir dengan sendirinya
melambangkan segala sesuatu yang 'ketinggalan zaman' di Afrika Selatan pasca-apartheid. Sebagai
orang kulit putih, dia menjadi bagian dari bekas penguasa/penjajah yang dapat dianggap mesti 'tahu
diri' dalam sebuah negeri dengan mayoritas penduduk kulit hitam yang baru membebaskan diri dari
sistem rasis.

Sebagai laki-laki, apalagi laki-laki tua hidung belang yang meniduri mahasiswinya, dia merupakan
prototipe laki-laki yang dicurigai para feminis. Keahliannya pun menjadi ciri khas 'sistem lama',
yaitu mempelajari dan mengajarkan karya para 'master' sastra Eropa (kebanyakan Inggris) yang
semuanya laki-laki kulit putih.

Dalam studi pascakolonial, pendidikan kolonial, antara lain pendidikan sastra, sering disebut
sebagai salah satu cara pengukuhan kekuasaan. Karya-karya pengarang Eropa diajarkan sebagai kanon
yang 'universal', sedangkan sastra dan budaya lokal tidak diacuhkan sehingga anak didik mendapat
kesan hanya Eropa yang berbudaya dan 'beradab'.

David Lurie dalam novel Aib mewakili kanon lama tersebut, tetapi kanon itu kini sudah kehilangan
pamor dan kekuasaannya. Di Cape Technical University, tempat dia mengajar, Fakultas Sastra dan
Bahasa telah ditutup dan kini dia terpaksa mengajar Ilmu Komunikasi. Hanya satu mata kuliah sastra
yang masih bisa diajarkannya setiap semester. Akan tetapi, mahasiswanya tampaknya hanya mengikuti
kuliah sebagai kewajiban saja. Sebagian teman kerjanya pun menganggap dia sebagai 'peninggalan
masa lalu' yang sebaiknya disingkirkan.

Lurie bukan hanya mengajar dan berkarya ilmiah tentang 'kanon lama' tersebut, karya dan kisah
hidup para sastrawan itu---terutama Lord Byron (1788-1824), penyair Inggris yang sedang menjadi
fokus studinya---selalu menjadi rujukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Tidak pernah dia
menyebut sastrawan Afrika Selatan atau negara Afrika lainnya, yang kulit putih atau kulit hitam.
Juga tidak ada sastrawan perempuan yang mendapat perhatiannya. Kesempitan wawasan ini membuat
Lurie terasing di negeri dan lingkungannya.

Keterasingan Lurie makin mendalam setelah dia dipecat sebagai dosen, lalu tinggal di pedalaman
bersama anaknya yang menjadi petani. Pada suatu saat dia duduk di halaman belakang rumah seorang
kawan sambil menyanyikan syair opera tentang Byron yang sedang dikarangnya. Ketika dia memergoki
beberapa anak kecil sedang mengintipnya, dia menyadari betapa bagi mereka dirinya tentu tampak
seperti orang gila. Bagaimana mungkin sebuah opera dalam bahasa Italia tentang seorang pengarang
Inggris yang sudah lama mati dapat memiliki makna bagi penduduk kampung di pedalaman Afrika!

Ada dua peristiwa utama yang dialami David Lurie yang membawa perubahan besar dalam hidupnya.
Keduanya adalah kasus pelecehan seksual: yang pertama melibatkan dirinya sebagai pelaku, yang
kedua terjadi pada Lucy, anak perempuannya.

Kasus pertama adalah affair Lurie dengan seorang mahasiswinya, Melanie Isaacs, yang berakhir
dengan sangat memalukan bagi Lurie: Melanie mengadukan hal itu sebagai pelecehan seksual (sexual
harassment), dan Lurie dipecat oleh universitasnya.

Kasus ini jauh dari sederhana. Meskipun pada saat meniduri Melanie pertama kali, Lurie menyadari
bahwa persetubuhan itu tak diinginkan Melanie, toh tidak terjadi pemaksaan. Melanie tidak menolak,
dia memilih bersikap pasif dan membiarkan Lurie menggaulinya.

Beberapa waktu kemudian, Melanie bahkan muncul di rumah Lurie dan minta diizinkan tinggal di sana
untuk beberapa waktu. Setelah terjadi hubungan seks beberapa kali, Melanie kemudian menghilang
kembali. Lalu, pacarnya melibatkan diri, juga keluarganya. Akhirnya Lurie tiba-tiba dihadapkan
pada kenyataan bahwa dirinya sedang dituntut karena melakukan pelecehan seksual.

Setelah dipecat, Lurie 'melarikan diri' ke tempat anaknya yang memiliki sebidang tanah di
pedalaman Eastern Cape. Lucy hidup sebagai petani, menanam bunga dan kentang yang dijualnya di
pasar, dan di samping itu membuka tempat penitipan anjing. Kasus kedua terjadi di situ, pada Lucy.
Suatu hari mereka didatangi tiga laki-laki kulit hitam yang tidak mereka kenal, dirampok, dan Lucy
diperkosa. Lurie tidak dapat membantu anaknya sebab dia dilukai dan dikunci di kamar mandi.

Kasus ini pun jauh dari sederhana. Pemerkosaan yang terjadi pada Lucy bisa dipahami sebagai
semacam aksi balas dendam orang kulit hitam terhadap orang kulit putih. Di samping itu, ternyata
Petrus, laki-laki kulit hitam yang bekerja untuk Lucy dan telah membeli separuh tanah darinya,
terlibat dalam kasus tersebut.

Bentuk keterlibatan itu tak dapat sepenuhnya dipahami Lurie dan Lucy, tetapi tampaknya bukan
secara kebetulan saja Petrus sedang tidak di tempat saat perampokan dan pemerkosaan itu terjadi.
Juga, ternyata salah satu dari ketiga penjahat itu, seorang pemuda yang tampaknya terganggu
kesehatan mentalnya, merupakan kerabat Petrus yang bahkan kemudian ikut tinggal bersama Petrus dan
keluarganya.

Tampaknya hubungan antara Petrus dan Lucy menjadi kunci peristiwa itu. Petrus awalnya bekerja pada
Lucy sehingga relasi kekuasaan tidak jauh bergeser daripada yang lazim di zaman apartheid: Si
kulit hitam menjadi tenaga kasar yang bergantung pada majikannya yang kulit putih. Tetapi kemudian
Petrus membeli sebagian tanah Lucy.

Setelah mendapat dana bantuan dari pemerintah, dia pun mampu membangun rumah. Petrus kini lebih
pantas disebut tetangga meskipun dia masih bekerja pada Lucy. Relasi kekuasaan berubah, status
Petrus tidak lagi lebih rendah daripada Lucy. Namun, Petrus belum puas dengan keadaan itu. Dia
menginginkan tanah yang lebih luas lagi. Kehadiran Lucy terasa mengganggu.

Tampaknya peristiwa perampokan dan pemerkosaan berfungsi sebagai semacam ancaman: Lucy
'disadarkan' bahwa tanpa perlindungan Petrus keamanannya tidak terjamin. Di akhir novel, Lucy
pasrah: dia menerima tawaran Petrus untuk menjadi 'istri ketiga' atau 'simpanan'-nya, menyerahkan
seluruh tanahnya dan sebagai imbalan menerima perlindungan dari Petrus. Relasi kekuasaan sama
sekali berbalik, kini Lucy yang sepenuhnya tergantung pada Petrus.

Dalam kedua kasus ini, David Lurie tidak dapat sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Apa yang
dipikirkan dan dirasakan Melanie tetap menjadi rahasia baginya. Karena seluruh novel diceritakan
dari perspektif Lurie, bagi pembaca pun kisah Melanie tetap menjadi teka-teki. Mengapa Melanie
tidak menolak dengan tegas ketika diajak berhubungan seks oleh Lurie? Mengapa dia tiba-tiba
mengadukan peristiwa itu sebagai pelecehan seksual? Benarkah dia merasa dilecehkan atau dia
ditekan oleh keluarga dan pacarnya?

Persoalan jarak antargenerasi juga sangat berperan dalam hubungan Lurie dengan anaknya. Cara Lucy
menghadapi musibah yang terjadi padanya sama sekali tidak dapat dipahami ayahnya. Lucy memilih
tidak melaporkan kasus pemerkosaan itu kepada polisi. Dia juga memilih tidak menggugurkan anak
yang dikandungnya akibat pemerkosaan itu. Dia bertahan hidup di rumah dan tanahnya, dan dengan
tegas menampik desakan ayahnya untuk meninggalkan tempat itu.

Bagi Lucy, Afrika Selatan pasca-apartheid dengan masyarakatnya yang tidak lagi disegregasi adalah
apa yang perlu dihadapinya. Dia berpendapat mungkin pemerkosaan yang dialaminya adalah bayaran
yang harus direlakannya sebagai orang kulit putih yang ingin berdiam di tempat itu. Dia sangat
trauma dan sadar bahwa dengan menerima tawaran Petrus untuk menjadi 'istri ketiga'-nya dia sangat
merendahkan diri, tetapi dia tidak melihat jalan lain yang lebih baik.

Ketika di akhir novel David Lurie menemui keluarga Melanie untuk berusaha sekali lagi memberi
penjelasan dan menyampaikan permintaan maaf, ayah Melanie berkomentar: 'How the mighty have
fallen'---betapa yang berkuasa telah jatuh. Kata 'mighty' membuat Lurie tercengang. Apa dirinya
pantas disebut 'berkuasa'?

Sebetulnya, dalam kedua kasus yang dialami Lurie, relasi kekuasaan telah berbalik dan dia tidak
dapat lagi dikatakan berada di pihak yang kuat dan berkuasa. Ketika dituduh melakukan pelecehan
seksual, Lurie sadar bahwa dirinya berada di pihak yang lemah.

'Kesadaran jender' di kampusnya telah dengan sangat kuat memengaruhi pandangan dan perasaan orang
maupun prosedur kampus dalam menangani kasus semacam itu sehingga Lurie tidak bisa mengharapkan
simpati dan pembelaan. Hal yang serupa berlaku dalam peristiwa yang menimpanya bersama Lucy. Dia
dan Lucy sebagai orang kulit putih kini berada di pihak yang lemah, tanpa perlindungan orang kulit
hitam mereka tak dapat hidup dengan aman.[]

NOTE:
Resensi ini awalnya dimuat di rubrik 'Buku', Kompas, Minggu, 23 Oktober 2005.

Never underestimate people. They do desire the cut of truth.
Jangan meremehkan orang. Mereka sungguh ingin kebenaran sejati.

© Natalie Goldberg
----------------------------------------------------------------------
Esai, resensi, artikel, dan lebih banyak tulisan. Kunjungi dan dukung blog sederhana ini:

http://halamanganjil.blogspot.com

Tidak ada komentar:

indonesiaindonesia.com