Senin, 28 Desember 2009

Resensei Novel Aib by J.M. Coetzee


Category:
Other
Judul buku: Aib/ Disgrace
Penulis : J.M. Coetzee
Penerbit : Penerbit Jalasutra
Peresensi : Wawan Eko Yulianto

Posisi seksualitas dalam sastra menjadi topik penting pembicaraan para
penikmat dan kritikus sastra Indonesia beberapa waktu yang lalu.
Sebagian mengiyakan, sebagian menggugat, dan sebagian lainnya memilih
sikap tak menggungat namun mencari alternatif bacaan lain. Wacana ini
muncul setelah kehadiran beberapa pendatang muda yang tangguh dengan
energi meluap sambil membawa karya-karya bermuatan seksualitas.
Perdebatan ini tak kunjung tersimpulkan. Masing-masing pihak
melontarkan argumen yang tak kunjung saling meyakinkan. Tanpa
sedikitpun maksud memperpanjang perdebatan itu, saya yakin, Penerbit
Jalasutra Jogjakarta menerbitkan novel Aib karya JM Coetzee, peraih
Nobel kesusastraan tahun 2003 asal Afrika Selatan.

Apa pasal saya mengisyaratkan adanya hubungan antara perdebatan posisi
seksualitas dengan penerbitan Aib?

Berlatar Afrika Selatan akhir milenium kedua, novel yang berjudul asli
Disgrace ini berkisah tentang Prof Lurie, dosen sastra, yang sejak
awal hingga akhir buku tak kunjung selesai dirundung sial. Di awal
cerita, dibeberkan bahwa sebagai seorang womanizer yang selalu haus
akan kepuasan seksual, Prof Lurie sedemikian rupa berusaha memuaskan
hasratnya dengan "berlangganan" seorang pelacur, Soraya. Malangnya,
Soraya menjauh begitu ada gelagat Prof Lurie ingin hubungan yang lebih
mendalam. Kemudian, Prof Lurie menjalin hubungan dengan seorang
mahasiswanya, Melanie, yang menyebabkannya mendapatkan kesialannya
yang kedua: dituduh melakukan pelecehan dan pemerkosaan terhadap
Melanie. Mengakui bersalah namun menolak menyesalinya, Prof Lurie
kehilangan jabatannya sebagai dosen. Aib ini membuatnya menyingkir
sejenak dengan mengunjungi putrinya, Lucy, di sebuah perkebunan. Di
sini, masalah lain menyongsongnya: rumah Lucy diserang tiga penjahat,
Lucy diperkosa sementara Prof Lurie tidak bisa melakukan apa-apa, dan
mobilnya dicuri. Keinginannya untuk melaporkan pemerkosaan itu kepada
polisi ditentang keras putrinya yang ingin memendam sendiri luka itu;
hubungan keduanya menjadi renggang. Lebih-lebih lagi, putrinya menolak
untuk pindah dari perkebunannya ketika diketahui bahwa pemerkosaan itu
mengakibatkan kehamilan dan memutuskan menerima lamaran tetangganya
yang jelas-jelas dia ketahui ingin menguasai tanah perkebunan
putrinya. Masih kurang lagi, ketika dia kembali ke Cape Town ternyata
rumahnya dijarah dan banyak barang pentingnya raib. Akhirnya, dia
memilih tinggal di sebuah daerah tak jauh dari Lucy dan menjalin
hubungan dengan seorang teman Lucy, yang sebenarnya sudah bersuami.

Dari ringkasan di atas, terasa sekali bahwa seksualitas adalah poin
dominan dalam novel ini. Jelas sekali, tokoh utama adalah seorang
bandot womanizer yang kehidupannya tak pernah jauh dari seks. Aib
diawali dengan kepuasan seks yang didapatkannya dari Soraya. Kemudian,
saking longgarnya ukuran moralitas baginya, dia berani mendekati
mahasiswanya, Melanie, dan menggiringnya ke hubungan seksual bahkan
ketika pertama kali mengundang gadis itu ke rumahnya—dan akhirnya
gagal terlaksana. Melanie, secara tak langsung membawanya kepada aib.
Aib ini menggiringnya bertemu kesialan lain yang juga masih urusan
seksual, pemerkosaan putrinya—meskipun ada tendensi rasialis di sini.
Keberadaannya di dekat putrinya ini juga menggiringnya pada hubungan
(seksual) dengan teman Lucy, Bev Shaw. Di sini, tampak betapa
seksualitas adalah faktor yang sentral. Selain itu, jika Aib juga
mengisahkan tentang Prof Lurie yang menggarap sebuah opera tentang
penyair Inggris Lord Byron, sepertinya itu juga bukan tempelan. Kita
tahu Lord Byron adalah penyair, juga womanizer, yang di London
mendapat Aib karena skandal sodomi dan inses.

Meski demikian, jangan dulu tumbuhkan pandangan bahwa Anda akan
menemukan adegan-adegan seksual yang digambarkan dengan sensual,
merangsang.

Dalam novel yang membuat JM Coetzee menjadi penulis pertama yang
memenangkan Booker Prize Award dua kali ini, adegan-adegan seksualitas
dibeberkan secara minimal. Hubungan dengan Soraya digambarkan tak
lebih dari sekedar "dia mengelus tubuh berona cokelat madu yang tak
ternodai matahari itu; meregangkannya, menciumi buah dadanya; mereka
bercinta". Bukankah, dibandingkan dengan sebagian besar karya sastra
bertema seks lainnya, banyak sekali yang dilewatkan dalam menceritakan
hubungan seks? Begitu juga ketika Prof. Lurie bersetubuh dengan Bev
Shaw yang tak cantik, disebutkan "memerosotkan celana dalam, dia masuk
ke sisi Bev, menelurusi tubuh Bev. Tak ada yang bisa dikatakan tentang
payudara Bev. Tegap, nyaris tak berpinggul, seperti bak mandi pendek
kecil".

Mungkin, akan ada yang beranggapan, dengan seksualitas sebagai tema
sentral, penggambaran hubungan seks di dalam Aib terasa terlalu
minimal. Tapi, jika ditilik kembali sebesar apakah kuantitas seks
dalam kehidupan, kita akan ingat betapa seks mendapatkan jatah tak
banyak dalam sehari —kecuali bagi mereka yang, maaf, menjadikannya
sebagai profesi. Dalam Aib, seks memicu terjadinya sebuah tragedi.
Selanjutnya, tragedi itulah yang lebih banyak dihadapi tokoh-tokoh
cerita, bukannya seks itu sendiri. Itulah yang membuat kita sah
berkata bahwa J.M. Coetzee telah menakar seksualitas secara
proporsional dan dengan cara yang sama dia menyajikannya kepada kita
para pembaca.

Aib menunjukkan kepada kita sebuah karya sastra yang menggarap
fenomena-fenomena seksualitas —bukannya menggarap hubungan seksual!—
dengan cerdas. Di Indonesia sendiri, satu atau dua tahun yang lalu,
seorang sastrawan menyatakan bahwa dia menggarap tema seputar fenomena
seksualitas, bukannya hubungan seksual. Namun, terbukti banyak pihak
menilai karyanya sebagai karya yang merangsang dan bahkan sempat
memunculkan fenomena label "bacaan khusus dewasa". Dengan hadirnya
Aib, kita mendapatkan alternatif bacaan yang tak takut mengurai tema
seksualitas namun juga tetap mampu menjaga dirinya bersih dari usaha
membuat pembacanya larut dalam fantasi seksual yang berlebihan.

Selain seksualitas, novel ini juga mengetengahkan tema rasialisme.
Dengan setting Afrika Selatan pasca-apartheid, JM Coetzee dalam novel
ini melukiskan sedikit konflik yang muncul sebagai dampak dari luka
politik apartheid yang masih terasa. Namun, berbeda dengan karya-karya
sang pejuang anti-apartheid, Nadine Gordimer, penulis Afrika Selatan
yang mendapatkan anugerah Nobel Sastra, JM Coetzee tidak menjadikan
apartheid tema sentral. Dalam karya-karyanya, JM Coetzee lebih
menyoroti konflik karakternya, dan menggunakan isu sosial hanya
sebatas isu itu benar-benar mendukung perkembangan karakter
tokoh-tokohnya.

Kebetulan, dalam Aib dia memiliki tokoh seseorang yang kehidupannya
tak pernah jauh dari kepuasan seksual. Kehadiran Aib seakan-akan
bertepatan dengan maraknya isu seksualitas di kancah sastra Indonesia.
Jika memang kita tak pernah malu untuk belajar, kita bisa bilang bahwa
Aib adalah satu diantara karya sastra asing yang bisa mengajarkan
kepada kita bagaimana menakar seksualitas dengan proporsional.

Tidak ada komentar:

indonesiaindonesia.com