Jumat, 23 Januari 2009

Academic..(Intro. to Culture Studies)

Perubahan adalah ruh kehidupan.

Tidak ada yang stagnan di dunia

sehingga semuanya terkena hukum perubahan,

baik yang bergerak linier maupun yang sirkular.

Abstraksi

Berangkat dari sebuah kata yakni perubahan, maka semua peristiwa terjadi berantai merangkai berbagai peristiwa yang mewarnai berbagai sendi kehidupan yang terkadang tak lepas dari adanya controversial akibat perubahan itu. Segala yang ada didunia ini akan mengalami perubahan karena pada hakikatnya perubahan merupakan sunatullah yang mekanismenya terkendali dan tersetruktur dalam hukum alam yang telah ditetapkan sejak proses penciptaan itu sendiri terjadi. Bila perubahan itu dikaitkan dengan eksistensi manusia dalam proses kebudayaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri. Persoalan kebudayaan itu adalah persoalan manusia karena manusia adalah pelaku atau pencipta dari kebudayaan, sebagaimana Koentjara ningrat memberikan definisi bahwasannya kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dalam teori struktural fungsional kebudayaan dianggap sebagai suatu proses yang saling berkaitan antara satu subsistem dengan sub system yang lain, dan kebudayaan berfungsi untuk mempertahankan struktur sosial yang ada dimasyarakat. Dalam teori evolusi juga dikemukakan bahwa kebuadayaan akan selalu berevolusi atau mengalami perubahan.

Komunitas Islam di Tengah Perubahan:

Tradisi Lokal Pada Komunitas Islam Pesisir Tuban

Dalam Perspektif Simbolik Interpretatif.

Perubahan di bidang agama, budaya dan politik, cenderung tidak linier tetapi lebih sering bersifat sirkular. Didalam beberapa kasus, perubahan tradisi masyarakat sangat difasilitasi oleh aspek politik. Sejarah perkembangan Islam dijawa adalah contoh dari adanya proses tersebut.

Islam memang berkembang melalui pesisir. Demikian pula munculnya kekuatan Islam dalam skala besar juga datang dari pesisir. Hal ini mudah dipahami sebab pesisir adalah daerah pertemuan berbagai kebudayaan atau tradisi dari berbagai bangsa, ras suku dan agama. Kontak kebudayaan antara pendatang yang sering singgah diwilayah pesisir pada masa-masa awal Islam di Jawa menyebabkan adanya proses tarik menarik antara budaya luar dengan budaya lokal yang tak jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat.

Diwilayah pesisir mengalami asimilasi budaya seperti, Mereka menyakini iman dalam islam, tetapi masi mempercayai berbagai kenyakinan lokal, dalam konsep islam puris disebut sebagai bid’ah atau penambahan ajaran islam dari kerangka pikir yang tidak ditemui dasarnya di dalam islam. Konsep ini dipertahankan dengan konsep bid’ah hasanah atau penambahan ajaran islam dari kerangka berpikir lokal, tapi bernilai baik menurut trasi “islam lokal”.

Masyrakat pesisir juga bergelut dengan tradisi lokalnya sendiri dalam bentuk melakukan berbagai upacara ritual keagamaan yang berbeda dengan konsepsi islam puris, seperti melakukan manganan di tempat yang dianggap keramat atau pemberian pengormatan kepada para “wali” melakukan trdisi nyekar secara rutin dan temporal, upacara lingkaran hidup dan sebagainya.

Dalam banyak kasus ziarah ke makam wali justru meminta meminta sesuatu kepada wali yang sudah meninggal. Ini merupakan tradisi liokal, sedangkan menurut tradisi besarnya, meminta haruslah kepada Yang Maha Kuasa, bukan kepada sesama makhluk, apalagi kepada yang sudah meninggal. Sebaliknya, ada kenyakinan lain yang beranggapan bahwa berziarah ke makam wali bisa menjadikan kemusyrikan, sebab jika tidak benar maka akan terjerumus pada sikap dan tindakan menyekutukan Tuhan. Dalam bukunya The Religion of Java, Greez menggambarkan bahwa masyarkat jawa memiliki agama sendiri, yaitu agama lokal yang berisi kepercayaan terhadap numerologi, kekuatan gaib, dan berikut tradisi upacara ritualnya yang diidentikan dengan kepercayaan kaum abangan yang terkonsentrasi di wilayah pedesaan jawa.

Islam sasak adalah islam yang bernuansa lokal, dalam agama wetu telu yang paling menonjol dan sentral adalah pengetahuan tentang lokal, tentang adat, bukan pengetahuan tentang islam sama sekali, misalnya do’a-do’a , tempat peribadatan masjid, dan tempat lain yang mengintroduksi keislaman mereka.Ziarah makam, ternyata merupakan tradisi yang telah melembaga pada masa pada masa pra-islam dan telah berkembang di nusantara.

Masayrakat palang terdiri dari masyarakat pertanian(di sebelah selatan) dan masyarakat nelayan(di sebelah utara). Mereka terbagi dua golongan sosial-religiusnya, yaitu wong muhammadiyah dan wong NU. Kategori sosial-religius ini juga berkaitan dengan penggolongan wong kulonan(penganut santri NU) dan wong etanan(wong Muhammadiyah).

Masyarakat NU, tradisi upacara ritual dengan cara ritual masih sangat menonjol. Berbeda dengan masyarakat Muhammadiyah, dimana upacara-upacara keagamaan yang biasa dilakukan orang-orang NU tidak dilakukan. Upacara itu seperti, ritus lingkaran hidup, ritus tolak balak, ritus ekonomi dan ritus agama lainnya.

Menurut islam jawa, ada tiga lokus sakral di dalam kehidupan, yaitu masjid, makan dan sumur. Ketiga lokus itu dalam konsepsi kebudayaan disebut sebagai cultural sphere atau ruang budaya yang mempertemukan berbagai kelompok sosial, yaitu kaum ambangan dan santri. Masjid tempat bertemunya kaum santri yang berafiliasi sosial keagamaan NU dan Muhammdiyah, sedangkan sumur dan makam adalah tempat bertemunya kaum abangan dan santri NU.

Medan budaya yang mempertemukan kaum abangan dengan NU baik diluar rumah seperti sumur dan makam maupun di dalam rumah yaitu berbagai upacara rumah tangga(lingkaran hidup, hari baik atau hari lainnya) bertemali dengan semakin banyaknya kaum abangan yang menjadi NU dalam makna keagamaannya.

Hubungan NU dengan Muhammadiyah adalah hubungan yang polaristik, terutama dilihat dari amalan agama(keislaman) maupun afiliasi politiknya.

Analysis dengan Pendekatan

Teori Struktural Fungsional dan Evolusi Budaya

Dalam teori struktural fungsional kebudayaan dianggap sebagai suatu proses yang saling berkaitan antara satu subsistem dengan sub system yang lain. Dengan kata lain apabila salah satu unsure kebudayaan itu mengalami perubahan, maka unsure kebudayaan lain pun akan ikut terpengaruh dan cenderung mengikuti perubahan tersebut. Oleh karena itu bila kita melihat tradisi lokal yang terdapat pada masyarakat pesisir Palang, Tuban, Jawa Timur memiliki indikasi berhubungan dengan teori tersebut. Seperti halnya tradisi-tradisi yang ada didalam masyarakat jawa yang terkait dengan tempat-tempat suci yang lebih mengandung unsur sakral seperti sumur, makam dan masjid.

Sumur merupakan medan budaya dimana terdapat kegiatan budaya seperti nyadran, kemudian di makam juga terdapat manganan dan dimasjid juga terdapat kegiatan budaya, seperti peribadatan. Dalam kultur masyarakat jawa terdapat tiga golongan yakni Santri ( NU dan Muhammadiyah), Abangan dan Priyayi, meskipun kelompok priyayi masih Kontroversial bila dikaitkan dalam kelompok tersebut. Karena Priyayi adalah kelompok sosial sedangkan Santri dan Abangan adalah kategori ketaatan beragama.

Islam memang berkembang melalui pesisir. Demikian pula munculnya kekuatan Islam dalam skala besar juga datang dari pesisir. Hal ini mudah dipahami sebab pesisir adalah daerah pertemuan berbagai kebudayaan atau tradisi dari berbagai bangsa, ras suku dan agama. Orang pesisir lebih mudah dalam menerima perubahan dibandingkan dengan orang pedalaman. Hal ini karena masyarakat pedalaman cukup terisolir dan sulit berinteraksi dengan dunia luar. Didaerah pesisir lebih cepat terjadi peubahan kebudayaan karena adanya proses interaksi dengan kalangan pendatang. Budaya-budaya yang ada cenderung telah banyak mengalami perubahan sebagai hasil proses islamisasi yang terjadi. Berbagai sistem kegiatan-kegiatan ritual telah mengalami perubahan atau telah beralih fungsi, seiring terjadinya perubahan disatu sistem. Hal ini disebabkan antara sistem-sistem tersebut saling berkaitan satu sama lain.

Kita bisa melihat berbagai tradisi yang telah mengalami perubahan akibat dari adanya proses Islamisasi. Misalnya dalam upacara kehamilan, akan terdapat proses penyucian melalui ritus bacaan doa, bacaan ayat-ayat suci Al-qur’an dan juga pembuatan simbol-simbol kesucian, seperti nama Maryam, Yusuf, atau Muhammad sebagai lambang-lambang manusia suci dalam kehidupan. Selain itu ada juga penulisan tokoh tokoh dalam pewayangan. Ritual ini menandakan percampuran antara budaya lokal dengan Islam. Kaum santri ( NU ) dalam proses Islamisasinya lebih cenderung melakukan pendekatan dengan masuk kedalam ritus kebudayaan orang abangan, dan cenderung mempertahankan kebudayaan yang ada. Akan tetapi kebudayaan yang ada telah diberi ruh Islam dalam pelaksanaannya nilai-nilainya tanpa menghilangkan tradisi tersebut. Hal ini karena kebudayaan tersebut memiliki kemampuan untuk melestarikan struktur sosial yang ada. Selain itu, berbagai ritus lain yang ada dalam masyarakat abangan juga telah mengalami perubahan, karena seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwasannya proses Islamisasi tersebut masuk kedalam sistem budaya masyarakat abangan, khusunya yang berupa ritual dan berbagai upacara adat, yang pada dasarnya memiliki keterkaitan antara satu sistem –dengan sistem yang lain, seperti manganan, nyadran dan sebagainya.

Masjid adalah tempat dimana golongan santri baik NU maupun Muhamadiyah bisa bertemu. Meskipun sering terjadi perbedaan yang pada akhirnya mereka mendirikan masjid sendiri-sendiri. Akan tetapi pada prinsipnya mereka bisa bertemu di masjid. Sebaliknya golongan abangan tidak mendatangi masjid untuk kpentingan ibadah, mereka mendatangi sumur dengan upacara ritual nyadran. Hal ini dimanfaatkan oleh orang NU dalam proses Islamisasi. Medan budaya sumur dan medan budaya abangan lainnya menjadi pertemuan menjadi arena budaya golongan abangan dan NU, meskipun dengan motif yang berbeda. Hal ini juga jelas bahwasannya NU tetap mempertahankan tradisi ritual orang abangan karena tradisi tersebut memiliki kemampuan untuk mempertahankan struktur sosial yang ada, yang pada akhirnya menarik orang abangan ke dalam NU akan lebih mudah. Berbeda dengan Muhammadiyah yang hampir tidak memiliki medan budaya yang sama dengan kelompok abangan, sehingga cukup sulit untuk menarik mereka kedalam kelompok Muhammadiyah.

Melalui bertemunya abangan dan NU dalam medan budaya tersebut maka perlahan terjadilah perubahan yang tanpa merubah struktur sosial masyarakat yang ada. Seiring gencarnya proses Islamisasi kultural, perubahanpun terjadi, dari tradisi nyadran didalam tradisi lokal yang menghadirkan festifal kerakyatan sindiran kepada kegiatan pengajian atau tahlilan dan yasinan, demikian pula tradisi manganan kuburan yang berubah menjadi pengajian, tahlilan dan yasinan. Perubahan tersebut sepertinya tidak akan terjadi tanpa adanya pertemuan maupun interaksi dalam medan budaya tersebut. Dengan melakukan pendekatan kultural yang tetap mempertahankan struktur sosial masyarakat yang ada maka terjadilah santrinisasi atau proses Islamisasi orang-orang abangan kedalam Islam.

Bila kita lihat dalam teori evolusi dikemukakan bahwasannya kebudayaan akan selalu berubah seiring dengan waktu yang terus berputar. Oleh karena, terlepas dari proses Islamisasi yang kultural, perubahan yang ada dalam tradisi orang-orang abangan merupakan sebuah bukti bahwasannya tidak ada sesuatu yang stagnan, artinya segala sesuatunya akan mengalami perubahan, dan perubahan itu akan berlangsung terus menerus. Tidak menutup kemungkinan, baik kelompok santri maupun abangan akan mengalami perubahan dari masa kemasa.

Tidak ada komentar:

indonesiaindonesia.com